Selasa, 20 Oktober 2009
Liputan6.com, Jakarta : Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, resmi menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2009-2014, setelah dilantik dan diambil Sumpahnya hari ini. Pengambilan Sumpah dilaksanakan dalam sidang paripurna MPR yang dipimpin Ketua baru MPR, Taufik Kiemas. Acara pelantikan berjalan cukup lancar dan selesai sekitar pukul 11:15 wib. Ribuan personil keamanan diterjunkan untuk mengamankan jalannya acara pelantikan ini.(MLA)
Baca Selanjutnya...
Jumat, 09 Oktober 2009
JAKARTA, KOMPAS.com — Meski belum memberi keterangan resmi, namun petinggi Mabes Polri mengisyaratkan dua orang yang tewas dalam penggerebekan di Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (9/10), adalah Syaifudin Zuhri dan Syahrir.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Nanan Soekarna menganggukkan kepala saat wartawan bertanya apakah yang tewas salah satunya adalah Syaifudin Zuhri. Saat ditanya siapa korban tewas lainnya Nanan menjawab singkat, "Syahrir."Syafudin Zuhri dan Syahrir adalah dua dari empat orang yang masuk dalam daftar pencarian orang beberapa saat setelah peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, Juli lalu. Dua orang lainnya adalah Bagus Budi Pranoto alias Urwah dan Ario Sudarso alias Aji. Dua nama terakhir tewas dalam penggerebekan di Solo, Jawa Tengah.
Sebelumnya, penata bunga Hotel Ritz Carlton, Ibrohim, tewas dalam penggerebekan di Temanggung, Jawa Tengah. Ibrohim adalah pengatur serangan aksi teroris di kedua hotel tersebut.
Dari nama yang disebutkan di atas, tiga orang diketahui memiliki ikatan kekerabatan. Mereka adalah Syaifudin Zuhri, Syahrir, dan Ibrohim. Syaifudin adalah adik kandung Syahrir. Sementara Ibrohim adalah adik ipar keduanya. Ibrohim menikah dengan Sucihani, adik Syahrir dan Syaifudin.
Syaifudin disebut-sebut sebagai orang yang berperan merekrut pelaku bom bunuh diri. Sementara, Syahrir diketahui memiliki kemampuan dalam merakit bom.
Baca Selanjutnya...
Kamis, 08 Oktober 2009
Gempa bumi yang mengguncang wilayah Sumatra Barat pada Rabu sore, 30 September 2009, memang sangat mengagetkan kita semua. Pasalnya, gempa yang tak kalah hebat juga baru saja mengguncang wilayah Tasikmalaya, Jawa Barat, dan sekitarnya.
Gempa bumi dengan kekuatan 7,6 skala ritcher yang mengguncang Sumbar itu ikut meruntuhkan bangunan-bangunan yang ada. Sejumlah rumah terbakar. Warga panik dan berlomba menyelamatkan diri. Bahkan sebagian warga ada yang berlari ke daerah perbukitan khawatir timbul tsunami. Yang tak kalah hebohnya saat para pasien rumah sakit terpaksa diungsikan ke luar rumah sakit karena cemas terjadi gempa susulan.Sementara itu, tak jauh dari Kota Padang. Perbukitan yang menaungi tiga desa di Patamuan, Padang Pariaman, Sumbar barat, longsor. Diperkirakan 400 orang yang tengah berada di sebuah pesta pernikahan ikut terkubur.
Guncangan gempa yang terjadi di Sumbar itu juga turut dirasakan warga Medan, Sumatra Utara. Lantaran takut dan panik, ratusan orang berhamburan keluar dari kantor dan pusat perbelanjaan. Gempa bumi yang mengguncang telah memicu kepanikan seluruh warga. Tak terkecuali warga Riau.
Selanjutnya, malam seusai gempa yang mengguncang, sebagian Padang gelap gulita. Aliran listrik di Padang, Bukittinggi, dan sekitarnya putus total. Ini terjadi karena sejumlah gardu PLN rusak dan roboh. Hal yang sama juga terjadi dengan jaringan komunikasi. Waktu pun berjalan terus berlalu.
Tidak semua orang langsung mengetahui nasib keluarga tercinta. Pascagempa, ratusan orang terkubur di bawah reruntuhan bangunan. Entah tewas ataukah hidup dan menunggu pertolongan. Tim penyelamat (SAR) tidak pernah menyerah untuk mengevakuasi para korban.
Kadangkala, rintihan korban bisa terdengar. Seperti yang terdapat di bawah reruntuhan gedung Sekolah Tinggi Bahasa Asing Prayoga. Sepanjang malam, anggota tim evakuasi mengajak korban berbicara dan memasok makanan serta minuman. Hasilnya, dua hari setelah bangunan runtuh, seorang mahasiswi bernama Ratna Kurnia Sari berhasil diselamatkan. Kisah Ratna ini memang merupakan pengecualian. Sebab, kisah sebagian besar korban justru berakhir dengan duka. Tewas tertimpa atau terkubur reruntuhan.
Pertemuan lempeng benua di tepi Pulau Sumatra memang membawa guncangan terus-menerus. Gempa Padang pekan lalu terjadi karena lempeng Indo Australia menabrak lempeng Eurasia. Mengingat letak Indonesia yang berada di lempeng Eurasia bagian tenggara, masyarakat Sumatra harus selalu waspada.
Menurut pakar gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor Doktor Sri Widiyantoro, hal yang terpenting adalah menyiapkan masyarakat untuk selalu siap bila guncangan terjadi. Pasalnya, gempa selalu datang tiba-tiba. Bangunan pun bisa roboh sewaktu-waktu. Meski demikian, risiko tetap bisa diperkecil.
Terkait hal itu, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia memiliki sejumlah kiat, yaitu para penghuni rumah harus memperhatikan dan mengingat sendiri jalur yang bisa dilalui bila terjadi gempa. Jendela pun bisa menjadi jalan keluar alternatif. Akses, termasuk kunci haruslah diletakkan di lokasi yang mudah terjangkau. Selain itu, bila memungkinkan konstruksi rumah bisa diperbaiki agar lebih tahan guncangan.
Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menjelaskan, umumnya bangunan rumah yang berbentuk simetris relatif lebih tahan gempa. Bagian-bagian tertentu dalam ruangan juga bisa diperkuat dengan penopang kayu. Bila terjebak dalam ruangan saat gempa terjadi, berlindunglah di tepi pilar atau penopang bangunan yang paling kokoh. Ranjang tidur memang bisa jadi salah satu sarana berlindung, tapi penempatan barang-barang harus diperhatikan.
Beberapa tips lain yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampak gempa antara lain, distribusi beban di rumah yang sebisa mungkin diperhitungkan. Rumah juga harus dirawat agar selalu siap menghadapi guncangan. Namun yang terpenting adalah, semua kiat ini bersifat umum. Nantinya semua harus disesuaikan dengan situasi yang terjadi.
Meski demikian, gedung di kota-kota besar umumnya dirancang tahan gempa, namun sesuai dengan potensi gempa setempat. Pasalnya, korban yang berjatuhan sebagian besar akibat terkena atau tertimbun bangunan-bangunan yang runtuh.
Gempa adalah bencana alam yang tak bisa dihindari. Gempa akan datang, kini atau nanti. Yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk meminimalisasi risiko. Selengkapnya, simak video berikut.(UPI/YUS)
Baca Selanjutnya...
Selasa, 06 Oktober 2009
Batik Indonesia dinilai sarat teknik, simbol, dan budaya, yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sejak lahir hingga meninggal.
Batik Indonesia konon memiliki keunikan yang tidak ditemukan di negara lain. Keunikan itu terletak pada penggunaan malam atau campuran sarang lebah, lemak hewan, dan getah tanaman dalam pembuatannya. Hal ini berbeda dengan teknik pembuatan motif kain dari China ataupun Jepang yang menggunakan lilin Begitu besar perhatian masyarakat Indonesia soal batik ini. Kemarin, di mana-mana di seluruh Nusantara dengan mudah kita jumpai warga bangsa ini mengenakan batik. Tua muda mengekspresikan berbagai bentuk luapan kegembiraannya terkait dengan dinyatakannya batik sebagai warisan budaya manusia. Sebelumnya wayang dan keris juga mendapat pengakuan terhormat dari masyarakat internasional.
Pertanyaan kita adalah setelah itu lalu apa? Apakah ”perjuangan batik” cukup sampai sebatas pengakuan dan kehormatan itu? Apakah kita cukup berbangga saja? Seharusnya tidak.
Suatu kehormatan seharusnya dikawal bersama karena kehormatan tinggi dan luhur nilainya. Sebagai bangsa, kita semestinya lebih maju lagi dengan melakukan kapitalisasi atau moneterisasi potensi batik.
Batik bukanlah sebagai produk budaya semata dari perjalanan panjang peradaban manusia Indonesia. Di dalamnya ada proses kreatif yang melahirkan nilai ekonomis. Inilah yang seharusnya kita usahakan rebut sekuat tenaga.
Dari hasil pengumpulan data di lapangan oleh Yayasan Batik Indonesia bersama desainer batik Iwan Tirta di 19 provinsi di Indonesia terkumpul lebih dari 2.500 jenis batik dengan berbagai corak dan motif yang beragam.
Sekiranya potensi besar ini dapat dikapitalisasi, sudah pasti nilai ekonomis yang dapat diraih sungguh sangat besar. Kini, momentumnya sudah ada, jangan sampai berlalu begitu saja. Berhenti pada kebanggaan diakui dunia. Nah, bagaimana ”politik batik” itu akan dijalankan masyarakat Indonesia untuk meraih sebesar-besar manfaat finansial, tentu untuk kesejahteraan rakyat.
”Politik batik”, tentu saja dalam arti luas, menyangkut juga upaya-upaya yang seharusnya diambil segera untuk meraih manfaat ekonomis. Jangan sampai terjadi seperti ungkapan sapi punya susu, tetapi kambing punya nama. Jangan sampai kita berhenti sekadar pada rasa bangga memiliki sesuatu yang diakui dunia lalu benefit ekonomisnya ”dicuri” bangsa lain.
Kini era ekonomi kreatif, era globalisasi, era kapital. Bertali temali dalam dinamika ekonomi global. Siapa memiliki kapital, daya kreasi tinggi, tentu merekalah yang meraih manfaat besar.
Apalah artinya kita dinobatkan dunia sebagai ”pemilik” batik, tetapi manfaat ekonominya justru diraih bangsa lain dengan segala keunggulan kreatif, daya saing global, dan kekuatan kapitalnya.
Begitu mudah kita menemukan pakaian bermotif batik di pasar lokal. Bisa saja itu bukan buatan di dalam negeri, tetapi barang impor dari negara yang memproduksi secara mudah dan cepat serta murah. Dengan begitu, mereka memiliki daya saing tinggi untuk menerobos masuk ke berbagai pasar di seluruh penjuru dunia, termasuk pasar kita.
Ah...! Jangan-jangan baju atau rok berbahan kain bermotif batik yang Anda kenakan kemarin untuk menunjukkan rasa bangga atas pengakuan dunia terhadap batik justru buatan China atau negara lain. Ya, siapa tahu. Maaf, jangan tersinggung.
Soalnya, banyak di antara kita yang pasti kurang pemahaman, bahkan tidak tahu-menahu soal kain. Begitu melihat kain bermotif batik, kita sudah langsung menganggapnya itu buatan Indonesia. Buatan Pekalongan, Solo, Cirebon, Yogyakarta, atau batik daerah lain.
”Politik batik” adalah politik dagang juga. Itu kita tempatkan dalam konteks batik dan juga semua produk pertekstilan kita sebagai komoditas dagangan. Politik dagang kita sering kali kedodoran manakala memasuki arena pertarungan global. Bukan hanya di arena internasional, tetapi politik dagang kita juga harus kuat dalam membela kepentingan industri nasional di pasar domestik.
Betapa kalangan pengusaha industri tekstil dan produk tekstil mengeluhkan serbuan produk luar negeri yang masuk mengacak-acak pasar domestik. Mereka sering melontarkan kritik tidak adanya perlindungan pasar dan industri domestik. Barang impor, termasuk yang ilegal, begitu mudah menyerbu, melemahkan, bahkan mengancam ajal industri-industri pertekstilan nasional.
Padahal, industri tekstil dan produk tekstil merupakan industri padat karya berorientasi ekspor. Kamar Dagang dan Industri Indonesia menempatkan sektor ini sebagai industri pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, penetrasi produk ilegal di pasar domestik mengurangi daya saing industri di negeri sendiri.
Industri tekstil dan garmen merupakan industri padat karya dan terbukti pernah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pengalaman panjang pengusaha pada industri ini dan keragaman budaya yang dapat memperkaya ragam produk tekstil dan pakaian jadi merupakan modal dasar untuk tetap bertahan di tengah persaingan semakin ketat.
Mumpung daya saing produk tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki Indonesia di pasar dunia masih cukup tinggi. Neraca perdagangan untuk produk tersebut mengalami surplus 6,9 miliar dollar AS pada 2008 (56 persen dari total ekspor). Pada 2004, surplus perdagangan sempat mencapai 80 persen dari total ekspor.
Produk tekstil dan pakaian jadi ”Made in Indonesia” telah lama dikenal di pasar ekspor.
Baca Selanjutnya...
Senin, 05 Oktober 2009
Belum genap sebulan gempa mengguncang Tasikmalaya, Jawa Barat, lindu kembali menggoyang Sumatra Barat. Rabu pekan terakhir September silam, tak terhitung bangunan di berbagai kota dan kabupaten di Ranah Minang, roboh. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, gempa tektonik yang mengguncang Sumbar berkekuatan 7,6 skala Richter (SR). Pusat gempa berada pada 57 kilometer sebelah Barat Laut Pariaman, Sumbar, sedalam 71 kilometer di bawah permukaan lautAda yang berpendapat, dampak gempa kali ini jauh lebih besar ketimbang bencana serupa di Tasikmalaya. Tak hanya kerugian materiil akibat hancurnya berbagai prasarana fisik dan rumah warga, jumlah korban tewas akibat gempa kali ini juga cukup banyak. Berdasarkan data Satuan Koordinator Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak) Sumbar, hingga Ahad silam korban tewas mencapai 611 orang dan korban hilang atau terjepit reruntuhan sekitar 347 orang. Total jenderal perkiraan korban gempa hingga kemarin mencapai 958 orang.
Namun data berbeda dikeluarkan Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan. Disebutkan, hingga Senin ini korban tewas dan hilang mencapai 1.225 orang. Korban tewas berjumlah 607, sedangkan yang hilang sebanyak 618 orang. Korban tewas terbanyak terdapat di Padang Pariaman, yakni mencapai 285 orang. Sementara di Kota Padang, tercatat 242 korban jiwa.
Pemerintah segera menanggapi bencana ini. Hanya berselang tiga jam setelah gempa, Wakil Presiden Jusuf Kalla memanggil sejumlah menteri untuk menggelar rapat terbatas. Menurut Wapres Kalla, pemerintah siap dengan anggaran yang tidak terbatas, sebab gempa ini disetarakan dengan gempa di Yogyakarta. Bantuan tersebut akan diberikan kepada masyarakat di Sumbar selama dua bulan penuh. Gempa belum bisa dilaporkan Wapres kepada Presiden, mengingat Susilo Bambang Yudhoyono dalam perjalanan pulang dari Amerika Serikat ke Tanah Air.
SBY pun bergerak cepat. Saat transit di Nagoya, Jepang, Kamis dini hari itu, Presiden Yudhoyono segera memerintahkan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari segera membantu evakuasi dan penanganan medis terhadap korban gempa bumi di Pariaman. "Sistem telah bekerja, kegiatan tanggap darurat sedang dilakukan," kata Presiden.
Pagi harinya, setiba di Tanah Air, dia langsung memimpin rapat koordinasi penanganan gempa. Dan sore harinya, SBY didampingi sejumlah menteri tiba di Kota Padang. Presiden hadir dan melihat langsung proses evakuasi korban gempa yang terperangkap di sebuah gedung.
Tak hanya memantau langsung, bantuan pun langsung dialirkan. Pemerintah menyerahkan bantuan awal berupa kucuran dana sebesar Rp 100 miliar dalam program tanggap darurat. Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, jumlah tersebut tidak menutup kemungkinan akan bertambah. Itu lantaran gempa yang terjadi di Padang lebih besar daripada gempa sebelumnya di Tasikmalaya, Jabar.
Sumbangan tak hanya datang dari pemerintah. Berbagai elemen masyarakat di Tanah Air juga menyatakan kepeduliannya dengan menggalang dana kemanusiaan bagi korban gempa. Beberapa negara sahabat di antaranya Jepang, Jerman, Singapura, dan Australia juga telah menawarkan bantuan. Australia, misalnya memberi bantuan sebesar A$ 2,8 juta dengan opsi tambahan A$ 1 juta. Sedangkan pemerintah Jerman mengucurkan bantuan sebesar US$ 3 juta untuk gempa di Ranah Minang.
Selain duit, bantuan tenaga juga dikerahkan. Sejumlah relawan baik asing maupun lokal didatangkan ke lokasi bencana untuk membantu regu penolong (SAR), anggota TNI/Polri, dan masyarakat, mengevakuasi korban gempa. Beberapa anggota penyelamat asing bahkan sengaja membawa peralatan pendeteksi kehidupan serta anjing pelacak. Upaya penyelamatan secara besar-besaran pun dilakukan. Proses pencarian para korban gempa disebar di 31 titik di Padang, ibu kota Provinsi Sumbar.
Walau upaya penyelamatan korban berlangsung secara besar-besaran, toh, banyak nyawa manusia yang tak terselamatkan di Kota Padang. Mereka meregang nyawa di balik reruntuhan gedung. Regu penyelamat tak dapat menjangkau mereka, bahkan terlambat datang. Sejumlah warga mengaku sempat mendengar rintihan minta tolong dari beberapa gedung yang runtuh.
Sejumlah alat berat yang dikerahkan pun sempat kehabisan bahan bakar. Bahkan, pertolongan dengan alat berat ada yang justru meruntuhkan puing di atas lokasi korban terperangkap. Upaya penyelamatan korban memang sulit. Terlebih, usai gempa, hujan kerap mengguyur Kota Padang.
Sementara upaya pencarian korban selamat maupun tewas berjalan, distribusi bantuan mulai disalurkan. Bantuan bagi korban gempa di Sumbar ditempatkan di empat titik, yakni Bandar Udara Minangkabau, lapangan terbang milik TNI Angkatan Udara, Kantor Gubernur Sumbar, dan Kantor Wali Kota Padang.
Masalah ternyata tak berhenti sampai di situ. Kenyataan di lapangan ternyata sangat kompleks. Persoalan klasik pun muncul. Bantuan yang sudah melimpah tak terdistribusikan dengan lancar. Seperti yang terjadi dalam berbagai peristiwa gempa sebelumnya, pemerintah daerah selalu lamban membantu korban bencana. Mereka harus membentuk tim dan menggelar rapat sebelum bergerak menolong korban. Para pengungsi juga mengeluhkan birokrasi yang berbelit-belit.
Anehnya lagi, fokus penanganan bencana seolah terpusat di satu tempat. Padahal, kerusakan tak hanya terjadi di Padang. Di Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Agam, bangunan yang hancur juga tak sedikit. Korban gempa di daerah itu, juga sangat banyak dan perlu mendapat perhatian serius.
Akibat kurang lancarnya penyaluran bantuan, warga di sejumlah kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman kelaparan. Bantuan dari pemerintah nyaris belum mereka terima. Mulai dari tenda, obat-obatan, selimut, ataupun makanan. Padahal, akses jalan ke sejumlah kabupaten dan kecamatan telah lancar.
Warga yang kebingungan akhirnya nekat menjarah bantuan makanan. Mereka menghentikan truk yang membawa bantuan, kemudian mengambil paksa barang-barang tersebut. Bahkan di Kabupaten Padang Pariaman, ada barang-barang yang dijarah dan sengaja dibawa dengan menggunakan kendaraan roda empat [baca: Bantuan Gempa Sumbar Dijarah].
Penanganan bencana di Kabupaten Padang Pariaman memang seperti terabaikan. Padahal, kabupaten ini adalah salah satu daerah yang paling parah kerusakannya akibat gempa. Jumlah korban di daerah ini pun terbilang banyak. Ratusan orang dikhawatirkan tewas setelah tertimbun longsor akibat gempa.
Kondisi serupa dialami warga korban gempa di Kabupaten Kerinci, Jambi. Perhatian pemerintah pusat maupun daerah terhadap korban gempa Kerinci sangat minim. Bantuan yang datang baru dari pemerintah setempat. Di kawasan ini lebih dari 1.200-an rumah rusak dan dua korban jiwa melayang. Pemerintah Kabupaten Kerinci mencatat kerugian akibat gempa mencapai Rp 98 miliar.
Sulitnya akses menuju lokasi bencana sempat dijadikan alasan. Jalur distribusi bantuan terputus karena tertutup longsor. Namun, kendala seperti ini seharusnya bisa ditangani dengan segera. Puluhan tentara yang sudah terbiasa dengan medan sulit bisa dikerahkan untuk menyingkirkan longsoran tanah dan batu. Usaha lain yang bisa dilakukan dengan cepat adalah menyalurkan bantuan melalui udara. TNI AU banyak memiliki helikopter atau pesawat kecil yang bisa menjangkau daerah terpencil.
Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah mengakui bantuan untuk korban gempa di Sumbar menumpuk di kantor-kantor bupati. Bantuan belum bisa didistribusikan karena terkendala transportasi. Untuk itu, Bachtiar telah menginstruksikan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi menyalurkan bantuan dengan mobil rescue yang berukuran kecil.
Penyaluran bantuan, menurut Mensos, terhambat kondisi jalan yang rusak dan kecil. Proses pengiriman bantuan sebelum diterima para korban, juga harus melalui kecamatan dan diteruskan ke wali-wali nagari.
Hal lain yang mesti diperhatikan adalah soal penyalahgunaan bantuan. Kejadian tersebut kerap terulang akibat ulah oknum-oknum yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Masalah ini sempat diingatkan Presiden Yudhoyono yang mengatakan dana bencana harus dipakai sebagaimana mestinya tanpa ada penyelewengan. "Yang penting uang itu betul digunakan, jangan ada menyimpang ke sana kemari. Itu neraka, dosanya besar," kata Presiden.
Rentetan bencana di Tanah Air semestinya memberikan pengalaman dan pelajaran kepada semua pihak. Terutama pemerintah agar menangani dengan tepat dan efektif setiap musibah, baik itu gempa maupun banjir. Ibaratnya, jangan sampai warga yang sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Pemerintah bisa lebih memaksimalkan peran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Lembaga pemerintah nondepartemen ini, sesuai dengan misinya, harus bisa membangun sistem penanggulangan bencana yang andal, dan menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinir, dan menyeluruh. Begitulah semestinya.(ANS)
Baca Selanjutnya...
Semua harus siap siaga karena bencana gempa belum berakhir. Untuk itu, penyebarluasan informasi tentang ancaman bencana diperlukan sebagai upaya antisipasi agar jumlah korban dapat dieliminasi.
Di sisi lain, masih banyak pemerintah daerah yang tidak tahu ancaman bencana dan kerawanan bencana di daerah masing-masing.
Selain itu, saat ini perlu segera dilakukan evaluasi skala nasional menyangkut kondisi geologis dan kondisi bangunan-bangunan di setiap wilayah.Demikian antara lain yang terungkap dari sejumlah wawancara yang dilakukan Kompas, Sabtu dan Minggu (3-4/10), dengan Direktur Humanitarian Forum, yang juga anggota Presidium Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Hening Suparlan, Ketua Tim Kajian Likuifaksi dan Tanah Longsor Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Adrin Tohari, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, dan Kepala Bidang Geodinamika Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Cecep Subarya.
”Semua orang harus paham akan ancaman bencana yang ada di sekitarnya sehingga mampu hidup bersama situasi bencana tersebut,” ujar Hening menjelaskan.
Individu harus paham
Hening menegaskan, semua individu harus paham sehingga bisa mengantisipasi bagaimana saat terjadi gempa.
Individu tersebut, pertama, harus mampu melindungi dirinya sendiri. Kedua, harus menginformasikan kepada keluarganya bagaimana melindungi diri mereka. Ketiga, harus mampu melindungi harta bendanya.
”Mengingatkan keluarga itu penting karena mungkin saat bencana datang, ia tidak bersama keluarganya. Mungkin istri atau suami di tempat lain, anak di sekolah, lalu mereka itu harus bagaimana. Ia harus memberi tahu bagaimana cara-cara penyelamatan diri. Soal harta benda, misalnya mereka lalu mengasuransikan harta bendanya, menyimpan barang-barang berharga dengan lebih aman, mengatur listrik agar tak mudah terjadi hubungan pendek, mengatur jalur evakuasi di rumah, dan lain-lain,” ujar Hening.
Hal senada dikatakan Surono. ”Untuk itu, butuh kerja sama pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintahan terkecil. Indonesia merupakan negeri rawan bencana sehingga perlu dibentuk bangsa yang mampu merespons bencana dengan benar,” katanya.
Tugas memberikan informasi secara luas kepada publik ada di tangan pemerintah daerah. Masalahnya, kata Hening, ”Masih jarang pemerintah daerah yang mengerti ancaman bencana yang ada di daerahnya, termasuk bencana gempa.”
Ia mencontohkan, setelah terjadi bencana gempa besar di Yogyakarta tahun 2006, ada bupati yang langsung mencari tahu tentang kondisi daerahnya, tentang ancaman bencana di daerahnya, ke ITB. ”Ia tak ingin kejadian serupa terjadi di wilayahnya,” ujarnya
Kendala lain, kata Surono, adalah jarak kebijakan dengan dampak kepada masyarakat sering kali jauh karena saat penyusunannya belum tentu melibatkan masyarakat dengan baik. ”Kebijakan itu harus disusun bersama-sama masyarakat. Masukan dari para ahli sangat penting,” katanya.
Evaluasi segera
Adrin dan Surono menegaskan perlunya pemerintah daerah segera mengevaluasi kondisi wilayah masing-masing menyangkut kondisi geologis dan memeriksa struktur bangunan demi mengurangi risiko bencana.
”Demi keselamatan warga, evaluasi harus dilakukan segera. Kejadian di Padang dan Jambi patut menjadi pelajaran penting bagi daerah lain,” kata Adrin.
Surono menekankan, ”Belum terlambat bagi setiap daerah untuk memeriksa kondisi wilayah, terutama bangunan seperti hotel atau kantor yang biasa menjadi tempat berkumpul banyak orang.”
Ambruknya Hotel Ambacang di Kota Padang menjadi contoh penting perlunya analisis risiko segera dilakukan.
Kewaspadaan ekstra patut dimiliki daerah ”langganan” gempa. Getaran yang datang rutin secara teknis melemahkan struktur bangunan yang dirancang kuat sekalipun.
”Kasus Hotel Ambacang bisa jadi terkait gempa-gempa kecil sebelumnya yang rutin terjadi di Kota Padang, terutama sejak tahun 2005,” kata Adrin. Oleh karena itu, evaluasi berkala penting dilakukan pengelola gedung atau bangunan.
Untuk mengurangi risiko tersebut, tata ruang yang tepat disesuaikan dengan kerawanan bencana gempa juga dibutuhkan. Saat ini, menurut Cecep, Rancangan Undang-Undang Tata Informasi Geospatial Nasional yang di dalamnya mengatur antara lain tentang perencanaan tata ruang wilayah nasional masih digodok di DPR.
”Yang saya khawatirkan adalah pelaksanaannya nanti kalau sudah disahkan. Siapa yang akan mengecek apakah UU itu dilaksanakan. Apakah izin mendirikan bangunan itu juga sudah menyertakan syarat yang sesuai dengan standar bangunan tahan gempa?” kata Cecep yang terlibat aktif pada penelitian Bakosurtanal tentang percepatan gerak tanah untuk memantau aktivitas lempeng tektonik.
Gempa terus terjadi
Surono menegaskan, gempa akan terus terjadi, sementara gempa dan karakter tanah adalah dua wilayah yang tak bisa direkayasa. ”Gempa pasti akan terus terjadi dan karakter tanah secara luas sulit diubah dengan teknologi. Alamnya sudah begitu,” katanya. Yang bisa dilakukan di antaranya menghindari membangun gedung di kawasan rawan gempa atau meningkatkan kualitas bangunannya.
Hening menyarankan, pemerintah daerah perlu merencanakan pemindahan daerah permukiman dan gedung-gedung publik yang berdiri di atas daerah sangat rawan gempa demi mengurangi risiko bencana, atau segera memperkuat konstruksi rumah atau bangunan sesuai standar bangunan yang tahan gempa.
Baca Selanjutnya...
Langganan:
Postingan (Atom)