Belum genap sebulan gempa mengguncang Tasikmalaya, Jawa Barat, lindu kembali menggoyang Sumatra Barat. Rabu pekan terakhir September silam, tak terhitung bangunan di berbagai kota dan kabupaten di Ranah Minang, roboh. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, gempa tektonik yang mengguncang Sumbar berkekuatan 7,6 skala Richter (SR). Pusat gempa berada pada 57 kilometer sebelah Barat Laut Pariaman, Sumbar, sedalam 71 kilometer di bawah permukaan lautAda yang berpendapat, dampak gempa kali ini jauh lebih besar ketimbang bencana serupa di Tasikmalaya. Tak hanya kerugian materiil akibat hancurnya berbagai prasarana fisik dan rumah warga, jumlah korban tewas akibat gempa kali ini juga cukup banyak. Berdasarkan data Satuan Koordinator Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak) Sumbar, hingga Ahad silam korban tewas mencapai 611 orang dan korban hilang atau terjepit reruntuhan sekitar 347 orang. Total jenderal perkiraan korban gempa hingga kemarin mencapai 958 orang.
Namun data berbeda dikeluarkan Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan. Disebutkan, hingga Senin ini korban tewas dan hilang mencapai 1.225 orang. Korban tewas berjumlah 607, sedangkan yang hilang sebanyak 618 orang. Korban tewas terbanyak terdapat di Padang Pariaman, yakni mencapai 285 orang. Sementara di Kota Padang, tercatat 242 korban jiwa.
Pemerintah segera menanggapi bencana ini. Hanya berselang tiga jam setelah gempa, Wakil Presiden Jusuf Kalla memanggil sejumlah menteri untuk menggelar rapat terbatas. Menurut Wapres Kalla, pemerintah siap dengan anggaran yang tidak terbatas, sebab gempa ini disetarakan dengan gempa di Yogyakarta. Bantuan tersebut akan diberikan kepada masyarakat di Sumbar selama dua bulan penuh. Gempa belum bisa dilaporkan Wapres kepada Presiden, mengingat Susilo Bambang Yudhoyono dalam perjalanan pulang dari Amerika Serikat ke Tanah Air.
SBY pun bergerak cepat. Saat transit di Nagoya, Jepang, Kamis dini hari itu, Presiden Yudhoyono segera memerintahkan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari segera membantu evakuasi dan penanganan medis terhadap korban gempa bumi di Pariaman. "Sistem telah bekerja, kegiatan tanggap darurat sedang dilakukan," kata Presiden.
Pagi harinya, setiba di Tanah Air, dia langsung memimpin rapat koordinasi penanganan gempa. Dan sore harinya, SBY didampingi sejumlah menteri tiba di Kota Padang. Presiden hadir dan melihat langsung proses evakuasi korban gempa yang terperangkap di sebuah gedung.
Tak hanya memantau langsung, bantuan pun langsung dialirkan. Pemerintah menyerahkan bantuan awal berupa kucuran dana sebesar Rp 100 miliar dalam program tanggap darurat. Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, jumlah tersebut tidak menutup kemungkinan akan bertambah. Itu lantaran gempa yang terjadi di Padang lebih besar daripada gempa sebelumnya di Tasikmalaya, Jabar.
Sumbangan tak hanya datang dari pemerintah. Berbagai elemen masyarakat di Tanah Air juga menyatakan kepeduliannya dengan menggalang dana kemanusiaan bagi korban gempa. Beberapa negara sahabat di antaranya Jepang, Jerman, Singapura, dan Australia juga telah menawarkan bantuan. Australia, misalnya memberi bantuan sebesar A$ 2,8 juta dengan opsi tambahan A$ 1 juta. Sedangkan pemerintah Jerman mengucurkan bantuan sebesar US$ 3 juta untuk gempa di Ranah Minang.
Selain duit, bantuan tenaga juga dikerahkan. Sejumlah relawan baik asing maupun lokal didatangkan ke lokasi bencana untuk membantu regu penolong (SAR), anggota TNI/Polri, dan masyarakat, mengevakuasi korban gempa. Beberapa anggota penyelamat asing bahkan sengaja membawa peralatan pendeteksi kehidupan serta anjing pelacak. Upaya penyelamatan secara besar-besaran pun dilakukan. Proses pencarian para korban gempa disebar di 31 titik di Padang, ibu kota Provinsi Sumbar.
Walau upaya penyelamatan korban berlangsung secara besar-besaran, toh, banyak nyawa manusia yang tak terselamatkan di Kota Padang. Mereka meregang nyawa di balik reruntuhan gedung. Regu penyelamat tak dapat menjangkau mereka, bahkan terlambat datang. Sejumlah warga mengaku sempat mendengar rintihan minta tolong dari beberapa gedung yang runtuh.
Sejumlah alat berat yang dikerahkan pun sempat kehabisan bahan bakar. Bahkan, pertolongan dengan alat berat ada yang justru meruntuhkan puing di atas lokasi korban terperangkap. Upaya penyelamatan korban memang sulit. Terlebih, usai gempa, hujan kerap mengguyur Kota Padang.
Sementara upaya pencarian korban selamat maupun tewas berjalan, distribusi bantuan mulai disalurkan. Bantuan bagi korban gempa di Sumbar ditempatkan di empat titik, yakni Bandar Udara Minangkabau, lapangan terbang milik TNI Angkatan Udara, Kantor Gubernur Sumbar, dan Kantor Wali Kota Padang.
Masalah ternyata tak berhenti sampai di situ. Kenyataan di lapangan ternyata sangat kompleks. Persoalan klasik pun muncul. Bantuan yang sudah melimpah tak terdistribusikan dengan lancar. Seperti yang terjadi dalam berbagai peristiwa gempa sebelumnya, pemerintah daerah selalu lamban membantu korban bencana. Mereka harus membentuk tim dan menggelar rapat sebelum bergerak menolong korban. Para pengungsi juga mengeluhkan birokrasi yang berbelit-belit.
Anehnya lagi, fokus penanganan bencana seolah terpusat di satu tempat. Padahal, kerusakan tak hanya terjadi di Padang. Di Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Agam, bangunan yang hancur juga tak sedikit. Korban gempa di daerah itu, juga sangat banyak dan perlu mendapat perhatian serius.
Akibat kurang lancarnya penyaluran bantuan, warga di sejumlah kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman kelaparan. Bantuan dari pemerintah nyaris belum mereka terima. Mulai dari tenda, obat-obatan, selimut, ataupun makanan. Padahal, akses jalan ke sejumlah kabupaten dan kecamatan telah lancar.
Warga yang kebingungan akhirnya nekat menjarah bantuan makanan. Mereka menghentikan truk yang membawa bantuan, kemudian mengambil paksa barang-barang tersebut. Bahkan di Kabupaten Padang Pariaman, ada barang-barang yang dijarah dan sengaja dibawa dengan menggunakan kendaraan roda empat [baca: Bantuan Gempa Sumbar Dijarah].
Penanganan bencana di Kabupaten Padang Pariaman memang seperti terabaikan. Padahal, kabupaten ini adalah salah satu daerah yang paling parah kerusakannya akibat gempa. Jumlah korban di daerah ini pun terbilang banyak. Ratusan orang dikhawatirkan tewas setelah tertimbun longsor akibat gempa.
Kondisi serupa dialami warga korban gempa di Kabupaten Kerinci, Jambi. Perhatian pemerintah pusat maupun daerah terhadap korban gempa Kerinci sangat minim. Bantuan yang datang baru dari pemerintah setempat. Di kawasan ini lebih dari 1.200-an rumah rusak dan dua korban jiwa melayang. Pemerintah Kabupaten Kerinci mencatat kerugian akibat gempa mencapai Rp 98 miliar.
Sulitnya akses menuju lokasi bencana sempat dijadikan alasan. Jalur distribusi bantuan terputus karena tertutup longsor. Namun, kendala seperti ini seharusnya bisa ditangani dengan segera. Puluhan tentara yang sudah terbiasa dengan medan sulit bisa dikerahkan untuk menyingkirkan longsoran tanah dan batu. Usaha lain yang bisa dilakukan dengan cepat adalah menyalurkan bantuan melalui udara. TNI AU banyak memiliki helikopter atau pesawat kecil yang bisa menjangkau daerah terpencil.
Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah mengakui bantuan untuk korban gempa di Sumbar menumpuk di kantor-kantor bupati. Bantuan belum bisa didistribusikan karena terkendala transportasi. Untuk itu, Bachtiar telah menginstruksikan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi menyalurkan bantuan dengan mobil rescue yang berukuran kecil.
Penyaluran bantuan, menurut Mensos, terhambat kondisi jalan yang rusak dan kecil. Proses pengiriman bantuan sebelum diterima para korban, juga harus melalui kecamatan dan diteruskan ke wali-wali nagari.
Hal lain yang mesti diperhatikan adalah soal penyalahgunaan bantuan. Kejadian tersebut kerap terulang akibat ulah oknum-oknum yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Masalah ini sempat diingatkan Presiden Yudhoyono yang mengatakan dana bencana harus dipakai sebagaimana mestinya tanpa ada penyelewengan. "Yang penting uang itu betul digunakan, jangan ada menyimpang ke sana kemari. Itu neraka, dosanya besar," kata Presiden.
Rentetan bencana di Tanah Air semestinya memberikan pengalaman dan pelajaran kepada semua pihak. Terutama pemerintah agar menangani dengan tepat dan efektif setiap musibah, baik itu gempa maupun banjir. Ibaratnya, jangan sampai warga yang sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Pemerintah bisa lebih memaksimalkan peran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Lembaga pemerintah nondepartemen ini, sesuai dengan misinya, harus bisa membangun sistem penanggulangan bencana yang andal, dan menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinir, dan menyeluruh. Begitulah semestinya.(ANS)
Senin, 05 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar