Kamis, 10 September 2009

Pemerintah Jangan Cuma Bisa Mengatur


Tahun depan, sejumlah pelaku industri di negeri ini mengusulkan sembilan produk unggulan Indonesia dapat dilepaskan di pasar bebas. Negara-negara anggota ASEAN pun menyepakati, tahun 2015 adalah saat pemberlakuan pasar bebas di kawasan Asia Tenggara.

Pasar bebas memang memberikan peluang bagi negeri ini untuk meningkatkan pendapatannya, dengan memasarkan produk unggulannya dan memperbesar investasi asing. Pasar bebas juga tantangan bagi sumber daya manusia Indonesia untuk bisa sekualitas dan bersaing dengan mancanegara. Namun, pasar bebas sesungguhnya juga menjadi ancaman, apalagi jika dikaitkan dengan kualitas sumber daya manusia dan komoditas negeri ini, yang dalam beberapa segi memang masih kalah dibandingkan dengan negara lain.Pertanyaan yang paling sering muncul terkait isu pasar bebas adalah siapa yang harus melindungi komoditas negeri ini yang tak mampu bersaing dengan produk mancanegara? Siapa yang melindungi petani dan warga negeri ini yang masih termarjinalisasi? Tak mungkin mereka dibiarkan terkapar, kalah pada era persaingan bebas yang segera dimulai. Bahkan, tak mungkin membiarkan mereka terabaikan, tanpa perlindungan saat ini.

Gantungan mereka yang tersisih adalah pemerintah. Namun, bisakah pemerintah memerankan peran itu? Memang, sejarah mengajarkan, saat Amerika Serikat (AS) mengalami krisis ekonomi tahun 1930, pemerintah negara itu melakukan intervensi terbatas untuk menyelamatkan tatanan perekonomian. Saat ini pun AS tengah dilanda kegelisahan akibat krisis sehingga pemerintahannya melakukan sejumlah intervensi untuk melindungi rakyatnya melalui sejumlah penyelamatan perusahaan yang berperan besar dalam perekonomian dan ketenagakerjaan di AS.

Keberpihakan pada rakyat

Sejumlah daerah, seperti Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Pemerintah Kabupaten Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta), memang menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat yang tersisih, terutama petani.

Pemerintahan Orde Baru sampai akhir tahun 1980-an memang mempunyai peran yang signifikan, bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga menjadi pelindung, bahkan menjadi pelaku ekonomi langsung. Karena itu, pada masa lalu dibentuk sejumlah lembaga pelaku ekonomi, seperti Badan Urusan Logistik (Bulog) yang juga membeli gabah langsung dari petani.

Namun, tahun 1989 Bank Dunia mengeluarkan sebuah buku Pembangunan Berkesinambungan, yang merupakan hasil studi pembangunan di Afrika. Bank Dunia menyimpulkan, kegagalan pembangunan di Afrika karena terlalu banyak dikelola pemerintah. Pemerintahlah sumber kegagalan. Wajah peran pemerintah di seluruh dunia pun berubah.

Untuk keberhasilan pembangunan, peran pemerintah harus diperkecil. Ekstremnya, pemerintah hanya berperan sebagai pengatur, regulator. Mekanisme pasar yang harus berjalan. Buka kompetisi bebas jika sebuah negara ingin berkembang pesat.

Tahun 1994, Putaran Uruguay menyepakati negara tak boleh menyubsidi sektor pertanian. Subsidi negara pada berbagai bidang kehidupan harus semakin dikurangi. Pasar bebas kian memperoleh tempatnya. Indonesia pun terikat dengan kesepakatan itu. Pemerintah ”mundur”, sekadar menjadi fasilitator, regulator.

Pemerintah pusat terjebak dalam struktur kontrak internasional sehingga tidak bisa secara langsung ”membela” rakyatnya. Jika pemerintah melanggar, sejumlah lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), bisa memberikan sanksi, terutama tidak mengucurkan pinjaman. Padahal, pembangunan negeri ini sebagian masih dibiayai pinjaman luar negeri.

Persaingan sempurna

Pasar bebas memang tak terhadang lagi. Namun, dari perspektif etis dan teoretis, pemerintah harus mengambil peran lebih besar dari sekadar sebagai regulator. Ketertinggalan sejumlah daerah dan warga negeri ini membutuhkan peran pemerintah yang lebih besar lagi, setidak-tidaknya untuk melindungi mereka. Pasar tidak bisa memecahkan semua masalah.

Apalagi, apabila bicara dunia nyata, saat ini terjadi kegagalan pasar. Idealnya mekanisme pasar memenuhi syarat yang dalam teori disebutkan sebagai persaingan sempurna. Faktanya, hal itu tidak ada. Tak akan pernah ada persaingan sempurna. Yang ada adalah monopoli, oligopoli, dan ketidakseimbangan.

Ketidakseimbangan, sehingga tak terjadi persaingan sempurna, terjadi antara lain karena adanya distorsi informasi. Akses seseorang, daerah, atau negara untuk memperoleh informasi sangatlah beragam, berbeda, bahkan bisa terasa bagai bumi dan langit. Karena distorsi informasi itu, kawasan timur Indonesia yang seharusnya lebih dahulu menyongsong mentari terbit justru tertinggal dari Indonesia bagian barat.

Dalam ketidakseimbangan itu, apalagi ada berbagai kebutuhan warga yang harus disediakan negara, pemerintah tak bisa lain harus memainkan peran yang lebih dari sekadar pembuat aturan. Pemerintah harus berani menjadi pelaku dan pelindung warga negaranya dalam pasar bebas. Apalagi ada aspek keadilan, redistribusi pendapatan dalam pengelolaan negara atau daerah. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintah.

Namun, kalau kita menginginkan pemerintah bisa lebih berperan aktif, tidak bisa kita harapkan dari pemerintah pusat. Sebab, pemerintah pusat adalah bagian dari penanda tangan kontrak internasional yang membatasi peran pemerintah. Kecuali, ada presiden yang nekat, yang pura-pura tidak mengerti dengan struktur ekonomi global dan tidak memahami kontrak internasional itu.

Satu-satunya harapan memang dibebankan kepada pemerintah daerah. Merekalah yang harus lebih peduli melindungi rakyat yang belum siap masuk kancah pasar bebas. Pemerintah daerah harus lebih peduli pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan semangat otonomi yang dititikberatkan pada daerah tingkat dua (kabupaten/kota).

Memang masih banyak kepala daerah di negeri ini yang tetap terjebak pada perilaku pasar bebas, serta memburu pendapatan daerah dan investasi sebesar-besarnya, tetapi mengorbankan sebagian warganya yang belum siap bersaing. Karena itu, memang dibutuhkan pemimpin daerah yang berani mendobrak pembatasan, atau setidak-tidaknya memperlebar pagar yang membatasi keleluasaan pemerintah untuk bertindak tak cuma sebagai pembuat aturan dan fasilitator.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar